Foto : Andika
PALU, Celebespos.com – Kaum orientalis menyebut asal usul kata Celebes dari Sele “bessi”, yang artinya Badik Besi. Itu sebuah perumpamaan, ciri yang melekat pada keseharian lelaki yang hidup di atas pulau K ini. Dalam literatur yang lain menyebutnya sebagai negeri celah besi.
Pulau Sulawesi sejak abad 15 telah dikenal sebagai negeri para pandai besi. Tradisi agraris hanya ditemui di sekitar lembah selatan, cerekang. Selebihnya, aktivitas pandai besi di temukan di banyak tempat dataran tinggi.
Tekhnologi metalurgi bahkan telah ditemukan beberapa abad yang lalu. Tepatnya di Nuha, tempat sebuah perusahaan nikel pertama dan terkemuka berada. Kini, fakta-fakta keunggulan mineral diantara saprolit, limonit dan galena menjadi primadona pasar dunia.
50 persen cadangan pasokan nikel nasional diraih Pulau Sulawesi. Sekitar 40 persen cadangan terbukti depositnya dari Sulawesi Tengah. Sulteng yang dulu menjadi belantara hutan negeri dengan pamor hasil hutan kayu. Kini telah tampil menumbuhkan manufaktur utama konsumsi industri berat dunia.
Sulteng Bonanza Limonit
Saat ekonomi belahan dunia lain sedang tiarap. Sulteng justru bonanza baja. Secara nasional, Sulteng telah menjadi sumbu primadona produk nikel pig Iron. Dua komoditas andalan, baja dan feronikel, telah menjadi penyumbang terbesar pelabuhan.
Ini memang tidak menjadi perhatian banyak orang karena diskursus mengenai hal ini, tidak menjadi tema pokok dalam diskusi apapun. Sebagai gambaran mari kita simak catatan BPS berikut:
Sepanjang November 2020, total ekspor senilai US$ 707,48 juta, naik US$ 55,35 juta atau 8,49 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Kontribusi terbesar terhadap ekspor berasal dari besi dan baja senilai US$ 605,07 juta atau 85,52 persen dari total nilai ekspor.
Tiongkok merupakan negara tujuan utama ekspor senilai US$ 422,62 juta atau 59,74 persen dari total nilai ekspor. Pelabuhan Kolonodale berperan senilai US$ 605,07 juta atau 85,52 persen dari total nilai ekspor.
BPS menyebutkan, sepanjang Januari-November 2020, total nilai ekspor tercatat US$ 6.663,83 juta, melalui Sulawesi Tengah sebesar US$ 6.617,06 juta dan provinsi lain sebesar US$ 46,77 juta. Total nilai impor tercatat US$ 354,71 juta selama November 2020 dan US$ 2.040,40 juta selama Januari-November 2020.
Ekonomi “Gula” Dalam Mineral
Dimana ada gula disitu ada semut. Demikian itulah yang sedang terjadi di Sulawesi Tengah, khususnya Morowali. Ribuan pencari kerja datang berbondong-bondong memenuhi kesempatan kerja yang terbuka.
IMIP, menjadi tujuan utama. Kawasan Industri yang mendapatkan investasi dari Shanghai Decent ini telah berhasil mengundang investasi. Tercatat sekitar 16 tenant beroperasi dengan pasokan energi mandiri menggunakan power plant tenaga uap. Semua dibakar dengan batubara dari pulau Kalimantan.
Dikutip dari Bisnis.com, per 31 Juli 2018, estimasi tenaga kerja yang terserap dalam industri pendukung kawasan IMIP (kontraktor, supplier) berjumlah sekitar 53.594 pekerja.
Khusus tenaga kerja lokal yang bekerja langsung di kawasan IMIP tercatat 25.447 orang, sementara tenaga kerja asing asal China sebanyak 3.121 orang. Dari komposisi tenaga kerja langsung, maka dapat disimpulkan sebanyak 10,9% tenaga kerja asing bekerja di kawasan IMIP.
Masa Depan Sele Bessi
Kini orang Sulawesi tidak lagi membawa badik besi sebagai simbol keperkasaan. Pamor dan reputasi sekarang terletak di helem industri berwarna kuning. Hilir mudik pekerja yang tumbuh di era tak di sangka ini telah mengubah seratus persen citra Sulawesi.
Namun ada yang janggal:
Pertama, bagaimana kelangsungan eksploitasi mineral ini membawa dampak ekonomi semesta. Fakta menunjukan, bahwa pendapatan asli daerah Sulawesi Tengah sejauh ini, hanya berada di kisaran 1 triliun rupiah. Itu pun bukan dari hasil partisipasi pengelolaan sumber daya alam, melainkan dari pajak kendaraan bermotor.
Kedua, sejauh ini belum ada perusahaan daerah baik itu lingkup Kabupaten dan Provinsi yang mampu menjadi mitra investasi. Sehingga penerimaan dari rangkaian hilirisasi mineral ini tidak berdampak banyak bagi ongkos pembangunan lokal Sulawesi Tengah.
Ketiga, Sejauh yang kita tahu, bahwa seluruh kutipan rente dari hilirisasi saprolit dan limonit ini berada di tangan kekuasaan pemerintah pusat. Pemerintah hanya memperoleh dana bagi hasil yang dikutip dari iuran tetap dan royalti.
Keempat, tidak ada tabungan masa depan. Pemerintah pusat tidak membangun apa yang disebut dengan mineral trust sebagai ongkos masa depan daerah penghasil. Semua uang yang dihasilkan hanya habis untuk ongkos pembangunan nasional.
Kelima, Pemerintah pusat tidak memiliki kendali produksi, apalagi pemerintah daerah. Kawasan yang terdiri dari 20 ribuan hektar itu, berada di bawah kontrol penuh swasta dengan garis perlindungan objek vital nasional.
Dari kelima hal di atas, sulit kita membayangkan masa depan apa yang hendak di raih. Memang, sekarang ia bisa menjadi jalan cepat meraih uang tunai. Orang bisa hidup lebih sejahtera bagi yang mampu menjadi pekerja, sub kontraktor, dalam struktur bisnis industri manufaktur ini.
Tapi yang namanya cadangan terbukti mineral bernilai habis. Jika seandainya umur deposit mineral kita hanya kurang dari 10 tahun ke depan.
Apa jejak yang bisa kita banggakan? (Kar)